Mengulik Gebug Ende: Tradisi Masyarakat Karangasem Memohon Hujan, Sakral

Ketika itu, pimpinan kerajaan dan mahapatih, disertai prajurit utamanya Soroh Petang Dasa (40 prajurit andalan) akhirnya berhasil menaklukkan Lombok.
Untuk meluapkan rasa suka citanya memenangi perang, Soroh Petang Dasa itu menari-nari dengan tameng dan senjatanya.
"Soroh Petang Dasa ini memang terkenal kekebalannya dan tidak mempan senjata apapun," kata Gede Nala Antara yang juga dosen Universitas Udayana itu.
Setelah pulang ke Bali, tari Gebug Ende itu terus dipakai sebagai bentuk keberhasilan menaklukkan Sasak.
“Seiring waktu, tarian ini dipergunakan sebagai latihan perang-perangan dan dilakukan saat masa senggang, pada musim kemarau.
Kemudian, muncullah kepercayaan ketika Gebug Ende ini ditarikan pada saat musim panas untuk memohon hujan," ujarnya.
Ketua Sanggar Seni Tridatu Komang Nisma mengatakan Gebug Ende yang ditampilkan tersebut merupakan Gebug Ende Kreasi.
Nisma menambahkan bahwa untuk prosesi Gebug Ende di Desa Seraya, setiap peserta dalam mencari pasangannya itu secara spontanitas.
Mengulik Ritual Gebug Ende: Tradisi masyarakat Desa Seraya, Karangasem, Bali, untuk memohon hujan kepada Ida Hyang Widhi Wasa, sakral
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Bali di Google News