DTW Jatiluwih Berubah, Status Warisan Budaya Unesco Terancam, Cok Ace Angkat Bicara
Saat ini untuk satu hektare lahan sawah di Bali hanya menghasilkan 6-8 ton gabah dengan harga per ton mencapai Rp 6 juta untuk siklus panen setiap empat bulan sekali.
“Hasil yang diperoleh petani jauh dari kata memadai. Di satu sisi, lahan sawah di Bali tidak seluas di Jawa yang bisa hektaran.
Ini jadi tantangan,” kata Cok Ace.
Oleh karena itu, status Warisan Budaya dari UNESCO harus dipertahankan dengan cara merawat dan menjaga subak di DTW Jatiluwih karena memberi keuntungan besar.
Tugas ini bukan hanya diemban petani dan warga setempat, tetapi juga pemerintah daerah hingga pusat.
Cok Ace juga mengingatkan konsep pengembangan kawasan DTW Jatiluwih tidak hanya diarahkan untuk membangun kawasan komersial, tetapi diimbangi dengan zonasi yang jelas dan terencana.
“Saya kira perlu skema khusus bagaimana caranya menjaga subak tradisional tetap ada.
Solusinya, pemerintah perlu memberikan subsidi dan perhatian kepada petani subak sehingga kita masih bisa melihat subak di Bali ke depannya,” ucapnya.
Di DTW Jatiluwih marak berdiri restoran dan kafe beririsan dengan pematang sawah yang menjadi view utama kawasan wisata alam itu.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Bali di Google News