Ribuan Burung Pipit di Gianyar Bali dan Cirebon Jabar Mati Mendadak, Ini Kata Ahli Zoologi BRIN
status kualitatif lingkungan karena keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai suatu petunjuk.
Copepoda dan krustasea air kecil lainnya yang terdapat di berbagai perairan dapat dipantau untuk mengetahui perubahan biokimia, fisiologis, atau perilaku yang mungkin mengindikasikan masalah dalam ekosistem mereka.
Menurut penemu spesies burung Myzomela Irianae dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, ini, hingga saat ini di Indonesia penelitian mengenai burung sebagai bioindikator lingkungan masih sangat langka.
“Penelitian yang tercatat pernah dilakukan adalah kandungan merkuri pada bulu burung liar,” kata Dewi Malia Prawiradilaga.
Pada 1997, J Burges dan M Goschfeld telah melaporkan hasil penelitian konsentrasi logam berat merkuri dan mangan pada bulu tiga jenis burung air dari Bali dan Sulawesi dalam jurnal Archives of Environmental Contamination and Toxicology.
Ketiga jenis burung air yang diteliti tersebut adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul perak (Egretta intermedia) dan kuntul kecil (Egretta garzetta).
Kemudian, R Utina dan AS Katili pada 2014 mempublikasikan hasil analisis residu merkuri pada organ tubuh dan bulu empat jenis burung air yang mencari makan dipantai utara Gorontalo, Sulawesi Utara dalam International Journal of Waste Resources.
Keempat jenis burung air tersebut terdiri dari kokokan laut (Butorides striatus), trinil kaki kuning (Tringa flavipes), trinil pantai (Actitis hypoleucos) dan cerek besar (Pluvialis squatarola).
Ahli Zoologi BRIN Dewi Malia Prawiradilaga mengatakan, masih perlu penelitian lebih lanjut untuk mengungkap kematian ribuan burung pipit di Gianyar dan Cirebon
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Bali di Google News