Taksu Bali dan The New Singapore: Autokritik untuk Presiden Prabowo
Ini artinya, kebijakan pemerintah pusat dan daerah sudah seharusnya tidak grusa-grusu berwacana, semestinyalah secara sinergia memastikan bahwa membangun Bali tidak hanya berfokus pada infrastruktur fisik belaka.
Harus secara baik dan mendasar memahami, secara etik dan filosofis mendasarkan wacana pembangunan Bali.
Bahwa pembangunan Bali koridornya adalah pelestarian alam, nilai-nilai budaya, dan religiositas yang dianut masyarakat Bali.
Masyarakat Bali dari awal kepariwisataan memiliki jargon: “Pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata” — ini mesti direnungkan secara serius.
Jika “Bali untuk pariwisata”, maka Pulau Bali dijadikan sapi perah pemerintah pusat dan para pengusaha, semata-mata Bali dijadikan sumber penghasilan, berkecenderungan abai mempertimbangkan dampak budaya, agama, dan lingkungannya, atas nama pertumbuhan income dari pariwisata.
Sebaliknya, jika “pariwisata untuk Bali”, maka yang pertama-tama menjadi pertimbangan adalah bagaimana mempertahankan dan melestarikan alam Bali, budaya dan seni Bali, serta adat istiadat agama masyarakat Bali.
Pariwisata adalah sarana untuk “membiayai dan merawat” alam, budaya dan adat istiadat Bali.
Pariwisata bukanlah agama masyarakat Bali, pariwisata adalah “kendaraan” menjaga alam Bali, pengembangan budaya dan agama masyarakat Bali.
Mewacanakan arah pembangunan Bali menjadi “The New Singapore
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Bali di Google News